Senin, 19 Januari 2009

Sleretaun

Sleretaun ( e-nya di baca seperti melafalkan kata ceret )
Dua kata itu terlintas begitu saja di siang ini. Sudah sejak lama dua kosa kata itu tak pernah dipakai orang, dilupakan orang. Sehingga tak pernah orang mengucapkan dua kata itu. Orang lebih sering menggunakan padan katanya yang sering di ucap penyiar penyiar tivi. Puting beliung. Padahal Sleret taun lebih mewakili suasana dahsyat mencekam saat kedatanganya yang lebih sering dengan tiba tiba.
Sore itu aku agak telat menggembala bajing, kerbau bapakku satu satuya. Aku menunggu garang gerih yang di buat ibuku matang sampai agak gosong. Garang gerih adalah ikan asin yang di lapis sambal kelapa super pedas, di bungkus daun pisang, dimasak dengan menumpangkan di wajan tanah yang membara.
Rasanya wenak apalagi yang sedikit gosong, lebih mak nyus dari yang dimakan Bondan Winarno di tivi. Setidaknya untuk waktu itu.
Sebungkus garang gerih sanggup menemani satu setengah onjot ( piring seng berukuran jumbo ) nasi tiwul melewati tenggorokanku. Satu setengah onjot sego thiwul sanggup menguatkan otot otot kecilku untuk menaklukan monster jantan hitam berkaki empat dengan tanduk runcing mengacung di atas kepalanya.
Yah inilah aku, penggembala kecil, paling kecil se Melikan dengan julukan kebesaran sekaligus nama olok olok, “Rante”. Dari kata rantai, karena aku pernah membual di depan teman temanku bahwa bapakku akan membawa pulang dari pabrik gula tempatnya bekerja sebuah rantai besar, sebesar rantai kereta api untuk mengunci pintu rumahku agar tidak di masuki maling. Ternyata yang di bawa bapak hanyalah rantai kecil, malah lebih kecil dari rantai dokar pak Samidjo yang mangkal di depan pasar Paron.
Aku mengeluarkan bajing dari kandang, dan menggiring ke pinggir rel sepur, tempat biasa kerbau kerbau merumput.
Sesampai di pinggir rel kereta api, sudah berderet deret kerbau yang merumput. Ada dua puluh kerbau yang di angon di pinggir rel utara kali. Yang di selatan jembatan lebih sedikit, karena di sana juga rumputnya sedikit. Aku melepas bajing sedikit ke selatan menjauhi lulang macan kerbaunya pak Mukiyat. Sejak dulu kalau bajing ketemu sama lulang macan mesti gaprukan, itu lho saling adu kekuatan dengan saling menanduk kepala.
Aku biarkan bajing merumput dengan lahap. Nafasnya mendengus dengus sambil sesekali melirik ke arah kami para penggembala berkumpul. Penggembala berkumpul berderet duduk di rel sepur sambil mengawasi kerbau masing masing. Kang Suradi dengan suara merdu melantunkan adzan, dia memang muadzin masjid kampung kami.Dia sedang latihan rupanya. Gito membuat wayang Janoko dari dumput yang di anyam rapi. Mas Suhanto menekuk nekuk seutas kawat untuk di lindaskan roda kereta, ketika kereta lewat.
Kawat yang dilindas roda kereta akan gepeng menjadi setipis pisau.
Tapi taukah engkau sobat, sehelai rambut yang di lindas roda kereta tak membuat rambut menjadi lumat, malah rel kereta akan dekok sesuai ukuran rambut itu di letakkan
Begitulah adanya
Aku duduk di samping kang Suradi, takjub aku mendengar suara adzanya yang lembut mendayu dayu. Pertama dia adzan dengan lagu pesisiran, kemudian dengan lagu mataraman, kemudian dengan lagu persiaan. Aku kepuingin bisa, makanya aku melihatnya dengan teliti. Bagaimana dia menarik nafas, meliukkan cengkok, hingga bersuara menggunakan perut dan dada bergantian.
Dari selatan jembatan terdengar “ puuuuooooorrrrrrr........” bersahutan beulang ulang.
Tandanya sepur segera lewat. Benda hitam mengeluarkan asap mengepul mendatangi kami dari selatan, dari arah stasiun Geneng. Suaranya bising jes...jes....jes....
Asap yang keluar di atas warnanya hitam pekat, sementara asap yang keluar di sela sela roda warnanya putih. Peluitnya bikin sakit kuping, seperti suara auman seratus kerbau yang panjang. Menggandeng lima gerbong kayu yang catnya sudah kusam. Suaranya berderak derak, menghamburkan debu ampas tebu ke udara. Sepur ojes bertenga uap lewat dengan angkuhnya, meski jalanya terseok seok melawan usia.
Semenit setelah gerbong terakhir lewat, tiba tiba Kang Suradi berteriak :
“ Rante......brambang............! ”
Serentak mereka membikin lingkaran yang rapat. Aku mati langkah tak bisa lari. Aku sudah tau yang akan mereka lakukan dengan sandi rante brambang tadi.
Mereka tertawa tawa, aku juga tertawa tawa takut, sambil memegangi celana pendekku kuat kuat. Mereka semua lebih besar dari aku, tak kuat aku melawan. Aku pasrah jongkok memegangi celana. Kang Suradi dengan gemas menangkapku dari belakang. Di buang topi capilku kesamping dan menidurkan kepalaku di pangkuanya, kedua tangan ku di pegang kuat, kuat sekali.
Mas suhanto meluruskan kakiku, sandal jepit terlepas entah kemana. Yang lain mengerubutiku sambil berdiri berkeliling. Aku tak pasrah begitu saja. Aku meronta sekuat tenaga. Kaki ku menendang nendang tak karuan, berteriak teriak. Dari sela sela kaki aku melihat Pak Joyo lewat, tapi tak menolongku malah ikut tertawa sambil berlalu dengan sepeda PLKB nya.
Gak tau kenapa, mereka ini sepertinya selalu gemas melihat aku. Kemarin mereka sudah melakukan ini, hari inipun mereka melakukan lagi. Dan anehnya akupun tak marah dengan mereka, karena mereka juga guru ngajiku di setiap sore setelah maghrib.
Mas Suhanto menindih dengkul kakiku dengan agak kuat. Aku berhenti meronta. Sekali sentak celanaku terlepas, meninggalkan burung kuncup kecilku jadi tontonan mereka. Tak guna aku meronta, aku pasrah sambil tertawa kegelian.
Gito mencari cari di sakunya, dan di keluarkanlah bawang merah sebesar jempol kaki.
Di patahkan pucuknya sampai mengeluarkan getah. Getah bening keluar, tapi rupanya gito jadi tak sabar. Gito meremas brambang sampai getah membasahi jari jarinya. Semuanya tertawa. Aku dibawah lemas menanti eksekusi.
“ Biar cepat besar....! “ katanya. Tangan gito yang hitam berkilat plus kapalan dengan rakusnya mencengkeram kuncupku. Semua brambang yang ada di tangannya habis di oles oles ke seluruh batang mungilku. Semua tertawa tergelak gelak Aku sudah tak berdaya merasakan geli. Tak guna aku meratap ampun ampun , tangan Gito yang kekar tetap saja ada disana.
“ Nunu lewat..... Nunu lewat..... “ tak tau siapa yang ngomong dibelakangku.
“ Mati aku..!”
Nunu adalah gadis kecil yang menurutku paling cantik di Melikan, dan mereka mereka ini tau aku punya rasa sama Nunu. Serentak lingkaran membuka memperlihatkan aku ketika Nunu lewat di samping kerumunan itu dengan sepeda mininya.
Aku lihat Nunu melengos saja, tapi dari sudut bibirnya aku tau Nunu sedang sangat keras menahan tawa. Aku tengkurap dengan cepat dan sekarang bokongku yang terlihat. Pengepungku makin riuh rendah saja. Aku serba salah.
Pengepungku bubar satu satu, meninggalkan aku terlentang lemes kegelian. Kebelet pipis. Bayangan Nunu hilang di pertigaan tugu.
Aku bangkit, mengenakan celanaku kembali dan, pipis.
Diatasku mendung tipis tipis saja, tapi di selatan sana mendung dengan cepat menghitam pekat berarak. Angin dingin meniup berseliyut kencang. Kerbau kerbau mendongak seperti mencari tau apa yang terjadi. Dan sobat, lihatlah..di bawah mendung yang menggantung itu. Sebuah jalinan menjulur keluar dari mendung pekat itu. Seperti tampar hitam atau dadung yang berpilin pilin. Semakin lama semakin besar. Aku tak tau kira kira di daerah mana. Kalo tidak di atas desa Ksatriyan, mungkin di atas Kedung Putri. Atau mungkin di langit dusun Jegolan. Pilinan mendung menjulur semakin panjang. Aku ternganga. Otak kecilku tak mampu menangkap apa yang terjadi, tapi hati mengatakan sesuatu akan terjadi.
Semua melihat ke selatan, menunjuk nunjuk dengan mulut menganga.
“ Sleret taun...sleret taun.......sleret taun.....!’ teriak mereka bersahutan.
Akhirnya aku bergabung kembali dengan mereka.
Kang Suradi mengambil batu di rel sepur. Memukul mukul rel dengan irama teratur pentatonik. Sambil mulutnya melantunkan semacam lagu dolanan.

Sleret tauuuuun
Dadung pedhot.........
Kathokmu mlorot........
Ketiban senggot.........

Serentak kami melakukan hal yang sama. Ada yang memukul di relnya, ada yang memukul di baut pengunci rel, ada yang memukul di kayu bantalan rel, ada yang memukul di pelat papan penyangga jembata. Jadilah kami klothekan dengan serunya. Sambil melantunkan lagu dolanan

Sleret tauuuuuun
Dadung pedhot...........
Kathokmu mlorot..........
Ketiban senggot...........

Dalam bahasa indonesia mungkin artinya begini :

Wahai puting beliung
Cepat, segera putuskan pilinan pilinan talimu
Lihatlah celanamu melorot
( pilinan tali juga bisa di lihat seperti propertinya kuda yang sedang menjulur menjuntai )
Nanti propertimu kejatuhan senggot
( Senggot adalah bandul yang di ikatkan pada ujung tuas timba mekanik di sumur gali yang menggunakan bambu panjang )

Angin kencang dingin mengacak acak topi topi kami hingga beterbangan.
Keluarga keluarga yang tinggal di seberang rel berhamburan melihat apa yang terjadi.
Jadilah pinggir rel sepur mendadak ramai orang. Ada yang hanya melihat, bercakap cakap, dan ada yang bergabung ikut klothekan bersama kami.
Ajaib, sungguh ajaib. Pilinan yang menjulur kemudian putus tepat di tengah. Separuh yang di bawah memedar memencar, separo yang di atas kembali masuk ke gugusan mendung pekat itu. Dan hilanglah sleret taun itu, puting beliung itu.
Mungkin di zaman kini kita lebih banyak membutuhkan anak penggembala anak penggembala yang membuat puting beliung malu hati tak jadi mengamuk, agar bencana bencana puting beliung punah dari negeri ini.
( Penggembala apa ? wong kerbaunya sudah di ganti traktor )

Kemudian hujan seperti tertumpah dari langit, tetapi angin kencang menghilang bebarengan dengan turunya hujan. Orang orang berlarian masuk rumah, dengan menyungging senyum di bibirnya, puas, lega, terbebas dari bencana.

Bergegas aku menggiring bajing ke panjeruman, tempat memandikan kerbau.
“ Rhuuuuummmmm...Rhummmmmm..........Rhum........” teriak pengembala bersahutan. Ini adalah bahasa kerbau. Penggembala memerintahkan untuk rhum, njerum, berkubang di dasar kolam. Kerbau kemudian bersimpuh di dasar kolam panjeruman. Penggembala sibuk menggosok tubuh tubuh monster berkaki empat itu. Menyanyikan lagu dolanan di tengah guyuran hujan.
Begitulah memandikan kerbau di hari kemarin, hari ini dan hari esok. Di Melikan. Dusun kecil di kaki gunung Lawu di ujung sabana padi di selatan Ngawi.

Oh ya...ternyata yang di “brambang” tadi tidak ada efeknya apa apa sampai sekarang. Ukuranya normal normal saja, standart orang Indonesia.
He ...he....he.......
( Yang ini bisik bisik saja )








Galangan – Segoromadu-Gresik
19 Januari 2009.


Kang Suradi, saya sudah keliling hampir seluruh Indonesia
Tapi belum ada yang menyamai indahnya Adzan sampeyan.