Rabu, 03 Juni 2009

Bajul Buntung

1986
Bajul buntung 1.

Hanya seorang saja wanita yang bisa bikin aku mangkel pol sekaligus mencintainya pol. Mangkel dan mencintai dalam waktu yang bersamaan. Dia wanita bertangan besi. Penguasa tunggal negara republik rumahku.
Penjajah hidubku untuk urusan mandi, sekolah, dan ngaji, angon kebo- menggembala kerbau. Selalu siap dengan peluru peluru kata kata untuk setiap menit keterlambatanku melakukan sesuatu.
Ya memang dia ibuku. Bener bener ibuku secara biologis, mentalis dan is is yang lain.
Ibu yang otoriter menurutku.

Padahal juga nggak otoriter pada saat yang lain. Suatu saat bisa gojeg gayeng dengan anak anaknya yang tiga ekor.... eh.... tiga glintir....eh tiga orang...... ding.
Kalo pas menjelang tidur gitu pasti mendongeng dengan asiknya. Tentang apa saja, kisah Nabi, cerita rakyat, atau cerita karangane ibu dewe. Dia saangat pandai mengolah kata hingga kami anaknya yang tiga ekor ini begitu hanyut dalam cerita cerita ibu. Misalnya tentang Nabi Ayub, aku pasti nangis kalo ibu menceritakan tentang Nabi yang hebat itu. Kalimat kalimat ibu sangat indah menyayat menceritakan Nabi Ayub yang sedang di uji Allah. Biasanya aku ndepis menelungkupkan wajah di bantal yang tiba tiba saja : basah.

Tapi ibu pasti ancur ancuran kalo sudah masuk sesi tebak tebakan. Tebakanya satu itu yang di ulang ulang, entah sudah berapa kali.
“ Pakboletus opo ?”
Kami bertiga pasti ngikik untuk menjawab tebak tebakan ini. Bukan lucu tebakan atau jawabanya, tapi yang lucu banget ya ibuku dhewe. Dari aku kecil tebakane pancet ae.
“ Tlapak kebo lelene satus” Kami bertiga menjawab serempak.
Dan ibu akan tertawa sampai dipan tergoncang goncang. Apanya yang lucu ?
Kamipun ikut tertawa. Mentertawi ibu yang tebak tebakane pancet. Ga lucu...!

Diam diam sebagai anak yang tertua sebenarnya aku merasa menderita. Terbeban.
“ Kowe anak sing paling gedhe harus bisa jadi contoh adik adikmu....!” katanya suatu waktu dan hampir sewaktu waktu, sak wayah wayah maksudku.
Menjadi contoh adik adikku ?
Yang bener aja.
Jelas aku tertekan. Aku kan sudah gede, aku pengen nggaya, pengen pethakilan, penthalitan, kemlinthi, kaya anak anak lain gitu.
Pengen punya sepeda mini yang di modif seperti motor trail.
Pengen punya sepatu merk Filla atau merk Warrior.
Pengen ( tapi ini diam diam ) di lihati teman teman cewek cewek kecil yang manis manis di sekolah SD ku. He ...he...he...

“ Jangan pethakilan, jangan nggaya, jangan pacaran, jangan jadi bajul buntung, ngideg telek ora pendeng ae, contoh buruk untuk adik adikmu nek kowe pacaran !” Ujar ibuku di suatu sore seperti semprotan kanon air mengguyur rumput di alun alun Ngawi.
Arti kata bajul buntung sendiri juga tak bener bener kupahami. Kata kata yang hanya di pakai ibuku sendiri.

Aku jatuh mental. Masa, kepengen seperti anak anak lain bisa menjadi bajul buntung. Aku cuma bisa membatin.

Paling paling sebenarnya ibu tak punya uang untuk beli sepatu, sepeda, dan minyak rambut untukku.

Wah ibu ini gak tanggung jawab. Berani punya anak ga berani mbandani.

Akhirnya aku harus puas dengan keadaanku.
Sepatuku tanpa merk. Itupun di belikan ibu di obralan pas acara perayaan buka giling di PG Sudhono Geneng.
Sepeda aku ga punya, kemana mana ya pakai sepeda kebo itu, sepeda keluarga. Ya untuk ke sawah, ya untuk menggilingkan padi, ya untuk ngantar ibu kondangan. Multifungsi lah.
Jangankan mau nggaya, bisa sekolah saja sudah untung. Katanya.

Tapi ya begitulah, aku tetep mencintainya pol, menyayanginya pol, meski sering rada rada nggondok, karena ga keturutan apa yang aku kepingini.

Oh ya lupa, bapakku itu seperti bapak jawa umumnya. Kerja, kopi, rokok, sawah, dan dengerin wayang di radio. Urusan anak anak ibu yang tangani.

1986
Bajul Buntung2.

“ Roy Marten ki jian bajul buntung temenan” kata ibuku di suatu sore, sambil melempar koran bekas bungkus mie keriting dari warung.
“ Yo sik nemen Rhoma Irama “ bulikku menimpali.
“ Podho ae, Roy Marten, Rhoma Irama, Broery Pesolima, podho gendhenge podho bajul buntunge.” Ibuku sengit.
Aku menoleh kekanan kekiri kaya nonton badminton. Kepalaku pening mencari cari jawaban atas kelakuan apa yang dilakukan tiga artis itu hingga ibuku dengan sengitnya menjuluki mereka dengan julukan khas ibuku. Bajul buntung.
Bukankah Roy Marten cukup ganteng ketika main film Ali Topan.
Bukankah Rhoma Irama juga hebat ketika menyanyi lagu dangdut Hari Kiamat.
Bukankah Broery Pesolima juga dahsyat mengasuh acara kuis di tivi. TVRI.
Gak ada yang punya ekor, apalagi buntung.
Dengan kepala berdenyut denyut, antara berani dan tidak. Dengan mulut mengo mingkem akhirnya aku beranikan diri bertanya kepada ibu.
“ Bajul buntung ki opo to bu?”
“ Lha iki, calon bajul buntunge bertanya....”
Aduh ibu.....!
Anak sendiri di katai calon bajul buntung.
“ Ngene ngger anakku Jaenal Ngabidin sing bagus dewe sak Ngawi, Bajul buntung itu adalah laki laki kemlinthi yang merasa paling ganteng sak dunia. Petentang pententeng. Sudah punya anak istri masih cari istri lagi. Gampang jatuh cinta. Yang dipikirnya cuma merayu wanita. Hidung belang, thukmis. Pantang melihat bathuk klimis, setiap ketemu dengan wanita yang klimis, ayu, langsung aja pasang aksi mau nyaplok. Plok. Persis seperti buaya, bajul.
Laki laki itu pemimpin. Agama, keluarga dan negara di genggam di tanganya. Makanya harus gagah berani, bisa di percaya, gak boleh plintat plintut, serang serong, banyak omong, tong kosong, kantong bolong, pathok bangkrong.”
Jrieeeng....!
Kata kata ibuku meluncur setengah setengah. Maksudku, setengah seperti mercon rentengan. Setengahnya lagi seperti srimulat.
Aku terbengong bengong memikirkan kembali kata katanya. Agak telmi sih. Tapi aku mulai ngerti dengan istilah ini.
Dan....aha......aku mendapat sinonim dari istilah bajul buntung ini.
Yaitu : PLAYBOY.
Nah sekarang aku baru ngeh...........
Rupanya ibuku sangat benci kepati pati, sebenci bencinya sama playboy. Mungkin juga wanita wanita lain seperti ibuku juga. Aku nggak ngerti.


1986
Sekolah Baru.

Aku baru tahu kalau di Ngawi itu ada tempat yang bernama Jenggrik, Soko Kawu, Ngale, Kendung, dan Sadang, Selama ini yang aku tahu hanya Melikan, Munggur, Tempuran dan Paron, ketambahan Pabrik Gula Geneng soalnya setiap tahun ada acara buka giling yang selalu nanggap ndangndut.

Sekolah baru, teman teman baru. SMP kawan...aku sudah SMP. SMP PGRI Ngawi. Sekolah yang baru berdiri, aku angkatan ke satunya, gedungnya numpang di gedung SD Inpres. Pagi untuk sekolah SD, sore untuk kami. Bener bener melas !

Di sebelahku sebangku namanya Jumariyanto, dari Jenggrik. Di kananku Suwardi Wahono dari sadang. Di sampingnya Suparji dari kendung.
Berempat kami sepakat bikin geng. Geng Slendrous namanya. Berasal dari kata slendro, artinya fals, beda, bukan main stream. Second idea begitulah.

Dan ini dia !

Selisih dua bangku di depanku adalah mahluk manis yang menyedot perhatianku dari pertama masuk sekolah baru. Mematok mataku untuk selalu melihatnya, minimal meliriknya. Namanya Srikanti. Ya...Srikanti...bener...bukan Srikandi. Aku memanggilnya Kanti. Gadis mungil yang selalu mengenakan bando perak di rambutnya. Ada remang tahi lalat di atas bibirnya. Muuuuaaaannniiiissss. Pooolllll....
Mungkin dia bukan cewek paling cantik di kelas ini, tapi menurutku dia paling manis di sekolah ini.
Tubuhnya mungil, dengan wajah oval dan kulit cerah.

Yang ku dengar dia berasal dari Nggetas Brang lor. Asal kata dari seberang lor. Utara bengawan Solo.
Yuuhhh...uuwwwaaadduuuuoooohhhhhh......
Di Ngawi yang namanya brang lor adalah miskin, terbelakang, nggak berpendidikan, dan yang pasti jauuuuhhhh.......ndeso....puol....sebagian besar daerahnya merupakan hutan jati milik Perhutani Ngawi berbatasan dengan Perhutani Blora.
Harus menyeberangi bengawan solo dengan perahu saat tidak banjir. Kalau banjir ya nginep dulu nunggu banjir surut.

Tak kusangka dari belantara hutan jati di brang lor ada gadis mungil semanis dia. Kanti...oh.... Kanti. Mata smp ku tak bisa lagi melihat yang lain cuma Kanti dan Kanti.
Mata ini seakan enggan melihat ke arah yang lain. Ke dia terus, terus, dan terus.

Senyumnya yang jarang jarang seperti guyuran es di siang hari saat panas terik dan kering, walau senyum itu tidak di tujukan untukku.

Suaranya yang jarang keluar dari bibirnya seperti nyanyian waljinah saat melantunkan tembang asmorondono, asmaradahana : tembang kasmaran. Lembut, mendayu, mencabut kesadaran dari rumahnya. Menjelma lupa diri, kedanan. Gila. Kepayang.
Walau tidak sedang omong sama aku.

Dan inilah hal terpenting yang aku ketahui tentang Kanti.
Yang kudengar dari selentingan, dia adalah puteri seorang camat di Kabupaten Sragen. Tapi ada tapinya kawan. Dia lahir dari istri simpanan. Duh.........malang nian nasibmu.
Ibunya mengabdi sebagai sukwan di kantor camat itu. Kemudian terjadilah hubungan cinta dengan pak Camat. Bu camat marah besar akhirnya menyingkirkan wanita itu dan bayi mungilnya di pinggir hutan perhutani di Nggetas Brang lor perbatasan Ngawi dan Blora.

Pantesan dia jarang tersenyum. Wajahya lebih banyak serius di banding santainya.
Tapi sungguh, dalam mimik serius di wajahnya aku menemukan wajah yang menurutku muuuaaaniiiisss, paling manis di muka bumi.
Ah.....

1986
Mimpi Basah.

Hujan deras. Pelajaran kosong. Suasana kelas ramai masing masing.
Jumariyanto, Suwardi Wahono, Suparji mojok di pinggir kelas. Aku bergabung agak belakangan.
Suwardi Wahono yang badanya paling besar mendominasi pembicaraan.
“ Aku baru tau rasanya menjadi akil baliq “
Kami bertiga menunggu apa yang akan di ceritakan si boss ini.
“ Tadi malam aku mimpi basah.! “
“ Oooo....” jawab kami serempak kaya beo yang sedang koor. Monyong.
Si boss ini memang gaya berceritanya pelan putus putus, bikin kami tambah penasaran.
“ Mimpinya sama siapa Wah..?” Parji mengejar.
“ Sama Bu ...... Denok...........!”
“ Woooo........!.” kami jadi tambah monyong.
Bu Denok adalah guru tercantik di sekolah ini. Mengajar sejarah. Masih muda baru lulus D3 tahun lalu.

Suwardi menghela nafas, melanjutkan cerita.
“ Perasaanku, aku di kelas ini sendirian mengerjakan soal. Tiba tiba Bu Denok mendatangi aku dan langsung mencium bibirku “
“ Wooooo.......!”
Jumariyanto tak sadar menggebrak gebrak meja, klotekan setengah bar.
Kami serentak mendekat untuk mendengar lebih jelas. Suwardi bercerita setengah berbisik untuk mendramatisir suasan biru mimpinya.
“ Ternyata berciuman itu huuueeennnnakkk.......langit rasa selangit rasa....!”
Kami mendengarkan sambil menahan nafas, khawatir ada kata kata yang terlewat.
“ Trus..?”
“ Tapi, itulah. Tiba tiba adikku yag di bawah meledak membuat celanaku basah sampai tembus ke sarung. “
“ Huh...” kami bertiga membuang nafas hampir bebarengan. Antara ngikik, mendenggus, dan sedikit terangsang. Bener bener anti klimak.

Suwardi beringsut meluruskan propertinya.
“ Luruskan......!” Jumariyanto memberi aba aba baris berbaris.
Kami ngakak.
Semua melihat kami sepintas.

Berhenti sesaat. Terhanyut pikiran masing masing.
“ Lha nek kowe gimana Jum ?” Suwardi menoleh ke Jumariyanto.
Semua menatap, menunggu cerita mimpi biru Jumariyanto. Pasti lebih seru kerana teman satu ini anaknya memang ganteng dan berstyle priyayi.
Jumariyanto terdiam, bibirnya bergerak gerak mau mengucap sesuatu.
Telapak tanganya bergerak menutupi bagian propertinya.
“ A...aku...b..b..belum pernah mimpi basah..!”
“ Ah...”
Bertiga mendadak lunglai. Sekaligus kecewa. Lewat sudah keinginan mengintip mimpi mesum Jumariyanto.
“ Ternyata kamu masih piyik, clondo, jangkrik kethet. “ Suwardi menjendul kepala. Yang lain tertawa ngikik.
“ Kalau sampai bulan depan kamu belum mimpi basah, kamu harus keluar dari geng slendrous ini. Kamu bikin geng sendiri sama anak anak SD dan anak TK.” Parji menimpali.

Jumariyanto senyum senyum, menggaruk kepala yang nggak gatal.
Terdiam. Memikirkan lamunan masing masing.

“ Lha nek aku gini....” Parji nerocos tanpa di tanya.
Yang lain langsung berpaling ke arah kawan satu ini.
“ Kejadianya malem minggu kemarin. Tau Hanum Rahayu ?”
“ Anak kelas satu A itu ?”
“ Yo”
“ Wow......mimpinya sama Hanum Rahayu ?” tanya kami bebarengan.
“ He eh..”
Glek... aku menelan ludah hampir keselek.

Hanum Rahayu. Cantik. Wajahnya mirip gambar artis di kaus Suwardi Wahono. Iis Sugianto nama artis itu.

Bebarengan bertiga merangsek ke arah Parji.

“ Trus piye......?” tanya Suwardi ga sabar.

Parji tarik nafas dalam, matanya menerawang melewati jendela kelas.
“ Ini akan menjadi kisah terindahku. Dalam mimpi itu aku naik sepeda mau berangkat sekolah. Aku mengayuh sepeda jengkiku dengan santainya. Entah di desa Dempel, atau di Klitik gitu Hanum Rahayu mencegat minta bonceng aku”
“ Lho ...Hanum Rahayu kan rumahnya di Ngale, Dempel....Ngale....wuadoooh jauuuh....!” seruku menyela.
“ Hus...ga pake logika bocah iki. Mimpi itu bisa dimana saja kapan saja apa saja ga pake logika..!” tangan Parji menjendul bathukku.
“ Kaya iklan coca cola “ Jumariyanto menyahut.
“ Diterusne po ora iki ?” Parji menjawab setengah mengancam.
“ Yo...yo.....yo....yo....”
Bertiga menjadi manis, ndlongop bin ngowoh demi mendengar cerita Parji.

“ Akhirnya Hanum Rahayu nyengklak di boncenganku, rambutnya tergerai di tiup angin. Bener bener harum sesuai dengan namanya. Sepanjang jalan yang grothal gronjal tanganya melingkar di pinggangku. Siiip. Jalan itu berubah menjadi jalan mulus yang di pagari bunga bunga. Indah dan wangi. Aku menyanyi siul siul.”
“ Kaya filem india gitu ji ?” aku menyela.
“ Ho’oh” jawabnya. Keliatan Parji mulai sesak nafas jerawatnya semakin kelihatan menonjol menonjol.
Aku juga mulai mengatur nafas.
Parji melanjutkan cerita.
“ Aku ga ngerti bagaimana mulainya, tiba tiba Hanum Rahayu menempel begitu erat di belakangku. Nempel pel pel. Tak ada batas. Trus ada yang bergeser geser di punggungku. Aku merasakanya, aku merasakanya. Lembut, hangat, menggelitik, dan......dan.......ahhhh”
“ Kenapa ?” seru kami serempak.
“ Aku di tendang mbakku!”
“ Mbakmu juga ikut dalam mimpi itu ?”
“ Nggak....! aku terbangun, terduduk sambil kriyip kriyip. Mbakku, malang kerik di depanku. Katanya aku ngompol. Dan memang bener. Aku ngompol, ngompol dewasa. He....he...he....”
“ Huuuuuuuuuu.........” koor terulang lagi.
Jumariyanto klothekan lagi. Kali ini agak lama. Satu bar.

Suwardi sudah. Jumariyanto sudah. Parji sudah. Berarti sebentar lagi giliranku.
Aku beranjak pelan pelan mau melarikan diri. Kaki kugeser pelan pelan keluar dari kolong bangku. Satu kaki lepas, kini giliran kaki kiri. Pelan. Pelan.
Tiba tiba. Plek !
Tangan kekar Suwardi menepuk sekaligus menekan pundakku.
Glodhag. Aku terduduk kembali.
“ Sekarang giliranmu....!” katanya sambil nggeget gigi. Tangan kekarnya menguyeg rambut jabrikku. Aku sudah tau, ini artinya intimidasi. Dan nggak ada yang berani melawan suwardi. Pimpinan geng slendrous yang mulia.
Aku lunglai. Gak ada jalan untuk lari.
Sebenarnya aku mau saja menceritakan mimpi basah pertamaku. Tiap laki laki pasti mengalami itu. Tapi masalahnya mimpi basahku itu jauh dari mimpi yang easy listening apalagi romantis. Blass gak asik. Tepatnya aku malu.
“ Ayo......!” Jumariyanto menyikut lenganku.
“ Em.....anu......ani.....ana......”
“ Halah....kesuwen.....!” Parji hampir berteriak.
Aku mulai keringetan. Tiga pasang mata semua melihat aku. Gugup, jelas !
Dengan menarik nafas kuberanikan diri bercerita, cerita pribadiku, cerita yang paling rahasia dalam sejarah hidubku.
“ Ngene........aku menaiki kuda.....”
“ Kowe menaiki kuda ? kuda kudaan ? sama kuda ? mimpimu ngerjai kuda ?” Parji nyerocos tak terbendung.
“ Wakakakakakakkakakakkakakkakakkakakakak........”
Tuh kan bener, aku baru mulai, mereka langsung mentertawai aku habis habisan. Jerawat di wajah parji makin berkilat kilat. Suwardi yang jarang tersenyum terguguk guguk . Jumariyanto klothekan tak tentu ketukanya. Seisi kelas menoleh ke arah kami.
“ Enggaaaak...ngene lho....” aku setengah ngotot.
“ Wis...wis...wis... biarkan dia melanjutkan ceritanya “ Suwardi menengahi.
Hariyanto mendekat, Irianto gabung, dan entah siapa lagi. Yang jelas lingakaranya tambah lebar, mata yang memelototi aku tambah banyak. Aku makin berkeringat.
Kepalang tanggung aku ceritakan aja semuanya.
“ Aku naik kuda, bener bener naik. Mengendarai. Tadinya kudanya jalan pelan pelan. Lama lama tambah kencang. Aku yang duduk di punggung kuda tergoncang goncang.
Geligir punggung kuda menekan nekan bagian bawah propertiku. Rasanya kedutan. Nikmat. Satu kali goncangan satu kali kedutan. Satu kali nikmat. Dua kali goncangan dua kali kedutan. Dua kali nikmat. Lama lama goncangan semakin cepat. Kedutanya juga semakin cepat. Nikmatnya juga semakin nuikmat. cepat ... cepat ... cepat .... dan ................ tumpahlah......celana kolorku basah.......”
“ Trus ceweknya mana ? “ Jumariyanto bertanya.
“ Nggak ada ceweknya “
“ Mek ngono thok...?”
“ Iya mek ngono thok....”
“ Wakakaka...ha..ha...ha.....hu...hu.....huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu”
Hu-nya memang panjang sekali. Serempak seperti koor.
Tangan tangan berseliweran menjendul kepalaku, menguyeg rambutku, memencet hidungku. Dan aku berlari menghindari siksaan yang lebih keras.
Huuuhh.......

1986
Sabun Detergent.

Rupanya Jumariyanto tau perasaanku. Suatu sore pas istirahat ke dua diajaknya aku ke belakang kelas. Di dekat WC, di dekat barongan rumpun bambu. Baunya ampun ampun. Tapi demi melihat keseriusan Jumariyanto aku menurut seperti penumpang bus di tipu calo.
Dari balik baju di bagian perutnya di keluarkan buku kecil bersampul merah.
“ Baca ini, baca semuanya, yang paling bagus ambil, bikin surat cintamu untuk Kanti. Aku yang akan menolongmu memberikanya nanti.”
“ Oh...tentang Kanti to.” Aku membatin.
Aku membaca sekilas tulisan besar di sampul buku.
SURAT SURAT CINTA SEPANJANG MASA.
“ Aku beli kemarin di pasar Watualang pas hari Legi “
Duh, Jum perhatian sekali kowe sama aku. Aku mengengguk angguk kaya tetanggaku pak Isiyat ketika mendengarkan lagu dangdut.
Jumariyanto memberi briefing singkat.
“ Bajumu harus selalu di cuci bersih, di seterika sampai mengkilap. Kaus kakimu juga jangan bau seperti ini. Celanamu jangan itu itu saja, ganti. Celana pesing gitu masih di pakai, tercium dari jarak satu meter !”
“ Punyaku cuma itu-e Jum “ jawabku beralasan.
“ Kita kan masuk sore, pulang sekolah langsung di cuci, besok siangnya di seterika. Di pakai sekolah lagi ” benar benar serius rupanya.
Aku manggut manggut.
“ Rambutnya di minyaki, pakai minya pomade itu lho yang gambarnya gadis china trus tulisanya tulisan china juga. “
Aku cuma bisa ngangguk sambil melihat ke tanah. Persis seperti sedang di strap.
“ Lha sikil dan tanganmu yang busik bersisik ini harus di minyaki pakai body lotion, biar nggak busik bersisik parah gitu “
“ Jum, ibuku dan bulikku aja nggak pernah pakai gitu gituan, aku nggak punya” jawabku.
“ Gampang. Kalo ibu dan bulikmu nggak punya bodylotion pasti mereka punya sabun detergent kan “
“ Iya..punya “
“ Nah, kowe pakai itu. Hampir sama hasilnya, cuma wanginya aja yang beda “
Cling.....!
Rasanya ada lampu seratus watt yang tiba tiba menyala di atas kepalaku.
Sebentar lagi aku akan menjadi aku yang lain, yang beda dari aku selama ini.
Terimakasih Jum.

Menjelang tidur, aku baca buku merah Jumariyanto. Surat surat cinta sepanjang masa.
Damar ublik agak aku besarkan nyalanya. Asap hitam mengepul di ujung semprong bagian atas.
Aku buka halaman satu.

Kepada Adinda Asti terkasih

Kanda rela mati kalau tak bisa bersanding denganmu..........

Puah....tidak kuteruskan.

Halaman dua

Adinda Asti Kekasih Hati

Menjinjing ember kiri dan kanan , aku ingin duduk berjejer di pelaminan

Gloghag ..... seleraku hampir hilang. Ini buku pasti bikinan pemain ludruk. Pake parikan segala.

Langsung aku buka halaman terakhir.

Dinda Asti Belahan Jiwa

Bila esok kujelang,
kuingin bayangmu tak akan hilang
tetaplah terpatri dalam ingatan


Week...mau muntah rasanya. Buku ini mungkin di tulis oleh orang yang saat jatuh cintanya di tahun enampuluhan. Bombastis. Blas nggak nyeni.
Hilang sudah selera bacaku. Aku kecilkan nyala lampu teplok, menarik sarung sebatas dada dan ........ tidur.

1986
Straap

Pak Hadi menyapu pandang sekeliling. Wajahnya dingin tak ramah sedikitpun. Mengitari seluruh kelas dengan jalan perlahan.
Seisi kelas tak bicara sedikitpun. Kepala kepala tertunduk tegang. Menanti apa yang akan di pebuat pak Hadi, guru killer pengajar Biologi.

Pak Hadi berdiri tegak di depan papan tulis. Menaruh dompet, jam tangan, cincin, kunci kontak sepeda motor persis di depan Murtini, bangku deretan terdepan yang tengah. Baju lengan panjangnya di lipat naik, kelihatan otot lenganya yang kekar. Dua kancing baju paling atas di lepas satu persatu. Kelihatan garang seperti preman. Bandanya memang kekar tapi tak seberapa tinggi. Jadinya seperti pendekar kate dalam film film silat mandarin. Matanya tajam menyapu seisi ruangan.
“ Hayo....siapa di kelas ini yang paling jagoan ?“
Guru ini mungkin gila atau paling nggak ya agak senewen begitulah. Belum apa apa, baru masuk kelas pertama sudah nantang nantang.
Tapi semua tak ada yang berani, mengangkat wajah.
“ Kalo nggak ada yang paling jagoan, siapa yang paling berani, ayo lawan aku. Kita bertanrung. Dari perguruan silat manapun tidak akan kutolak. SH Teratai, SH Winongo, Gubug Remaja, Kera Sakti, Taekwondo, Karate, semua...ayo lawan aku. Kalo ada yang berani maju, langsung ambil motorku, kalau ada yang berani mukul melawan aku kutambahi dompet dan arlojiku. Kalau ada bisa mengalahkan aku ambil semuanya, rumah dan istriku. Akan akan berguru lagi ke Banten.”
Seisi kelas tak ada yang berani menengadahkan wajah. Suwardi Wahono mengelus elus pulpen. Agung memencet mencet hidungnya sendiri. Aku sendiri njepiping gemetaran. Galak bener guru ini.
“ Saya hitung sampai sepuluh, ada yang berani maju apa enggak . Satu....dua....tiga...”
Tambah gemetaran, apa yang mau di lakukan Pak Hadi ketika hitungan ke sepuluh berakir nanti. Anak perempuan terdengar sudah mulai ada yang terisak isak. Kelas sunyi senyap tak ada yang berani bersuara.
“ Benar nggak ada ?” suaranya menggelegar.
“ Kalo nggak ada ya sudah, nggak apa apa. Berarti di kelas ini tak ada yang berani melawan aku. Tak ada satupun. Makanya semua harus nurut perkataanku. Kalo ada yang nggak nurut berarti melawan aku, aku punya hukuman yang setimpal kepada siapa saja yang tidak nurut sama aku. Sekarang semua harus tunduk sama aku, kita belajar Biologi dengan caraku. Paham ?”
“ Paham paaaaak.....” serentak.
Pak Hadi memunguti kembali dompet, arloji, kunci motor. Merapikan baju lengan panjangnya dan mengancingkan bajunya. Wajahnya normal kembali.
Terdengar di sana sini nafas berat yang di buang. Lega. Terbebas dari ancaman.


Ternyata menantang nantang adalah siasat Pak Hadi untuk menguasai kelas. Pak Hadi juga melakukan hal yang sama di kelas lain. Di sekolah lain.
Bener bener teroris. Teroris mental. Setiap Pak Hadi masuk kelas tak ada yang berani berulah. Intimidasi sudah masuk merasuk ke dalam jiwa anak sekelas.

Pak Hadi menerangkan tentang simbiosis. Mutualisme, komensalisme, parasitisme. Menerangkan dengan sedikit guarauan guarauan lucu. Seisi kelas bisa tertawa.
Tapi aku tidak. Aku terlanjur tak suka sama guru ini. Sok. Aku tak suka di ancam ancam dan di intimidasi. Aku jadi mengantuk.
Di tengah gemuruh tawa anak sekelas, aku kelepasan menguap.
“ Aauuuuwooohhhhhhh....”
Sebenarnya tak begitu keras suaranya. Tapi cukup untuk membuat kuping Pak Hadi berdiri.
Pak Hadi sontak berdiri tegang di depan papan tulis. Wajahnya mengeras. Suara riuh mendadak senyap Pandanganya menyapu seluruh kelas. Kearah wajah murid satu persatu. Tak ada yang berani mendongak, semuanya tertunduk.
Kata teman temanku Pak Hadi ini mempunyai ilmu jiwa yang mumpuni. Hanya dengan melihat, tanpa bertanya, dia tau siapa yang melakukan kesalahan.
Sudah pasti aku gemetaran. Pasti akan terjadi eksekusi atas aku, entah apa bentuknya.
“ Siapa yang angop tadi ?” suaranya berat mengancam.
Senyap tak ada yang bersuara.
Pak Hadi menatap mata anak anak satu persatu. Cukup lama, matanya menatap seperti sedang mengetahui seberapa dalam bulatan hitam di mata masing masing anak. Suasana menjadi bertambah tegang. Dari mulai deretan anak perempuan di depan, terus ke deretan belakangnya. Deret demi deret.
Tiba di deretan anak laki laki, pak Hadi mengulangi pertanyaanya :
“ Siapa yang angop tadi ?”
Anak di deretan depan tak ada yang bergerak.
Sial, anak anak di deretanku secara tak sadar melirik ke arahku. Aku yang berusaha tenang menjadi tegang. Mungkin wajahku kelihatan pucat.
Pak Hadi menatap mataku tajam. Tak sadar aku menelan ludah. Glek..!
Dengan langkah perlahan monster itu mendekati aku. Memegang telapak tanganku.
Cess !
Tanganku terasa hangat, berarti dia merasakan telapak tanganku dingin. Agak lama.
Dengan lembut di tariknya tanganku, di bimbing ke depan kelas. Lutut ini rasanya lemes, demi menjejaki lantai melangkah ke depan.
Tapi entah dari mana datangnya, perlahan aku menjadi pasrah dan siap menghadapi hukuman apa yang akan di timpakan kepadaku.
Apapun siap aku hadapi.
Aku berdiri di depan papan tulis, pak Hadi di sebelah kananku menghadap ke arah teman teman.
“ Mas, maaf, aku belum memperhatikanmu sejak mengajar di kelas ini. Siapa namamu ?.”
“ Zainal.”
“ Lengkapnya ?”
“ Zainal Abidin “
“ Apakah kau siswa salah satu perguruan silat ?”
“ Tidak”
“ Apakah ada saudaramu, pakde paklikmu yang mengajar di sekolah ini?”
“ Tidak “
“ Apakah diantara sanak saudaramu ada yang menjadi polisi atau militer?”
“ Tidak”
Senyap sesaat. Matanya menatapku tajam. Aku tak melihatnya, aku memandang ke arah teman temanku.
“ Kenapa kamu menguap keras tadi ?”
Guru ini aneh, jelas aku menguap karena ngantuk.
“ Saya mengantuk !“
Seisi kelas melihat dengan tegang.
“ Aku sudah bilang di awal mulai mengajar di sini, kita belajar biologi dengan caraku. Titik. Semua sudah setuju, tak ada yang protes. Menguap dengan keras pada saat pelajaran biologi adalah bukan caraku. Kalau ada yang belajar dengan aku tetapi bukan dengan caraku berarti sedang melawan aku”.
Kata katanya berat perlahan dengan intonasi jelas pada penekanan kata kata tertentu.
“ Nah....karena jelas jelas kamu sudah menantang aku, maka tidak ada jalan lain bagiku dan bagimu mas, kecuali kita harus bertarung.”
Pak Hadi menutup pintu kelas dan menguncinya dari dalam.
Aku berdiri dengan gemetar di depan kelas, mengutuki diri sendiri. Kenapa jadinya seperti ini. Aku harus berhadapan guru maniak bertarung penggemar cerita komik Kooo Ping Hooo.
Pak Hadi mengeluarkan dompet, melepas arloji, cincin, dan melipat baju lengan panjangnya.
“ Ambil semuanya kalau mas berani bertarung”
“ Tidak”
Hanya itu kata yang bisa aku ucapkan. Selebihnya sibuk menelan ludah.
“ Mengapa tidak ?”
Aku menarik nafas mengumpulkan keberanian.
“ Saya tidak akan bertarung dengan bapak”
“ Kenapa, tidak berani atau tidak mau?’
Jangkrik, aku benar benar pingin lari keluar kelas.
“ Keduanya. Tidak mau dan tidak berani.”
“ Berarti kamu bukan laki laki “
Senyap. Wajahku rasanya tebal dan panas. Aku menyumpah nyumpah dalam hati. Menyesal pasti.
“ Atau begini, kamu ambil air di ember, bawa kesini, dan kamu cuci muka disini di hadapan teman temanmu.”
Aku tak bergerak.
“ Sekarang silahkan pilih, bertarung melawan pak Hadi atau cuci muka di sini.”
“ Saya akan cuci muka di sini.”
“ Bagus ! sekarang lakukan.”
Aku bergegas mengambil ember di pojok kelas. Ember yang biasa untuk membersihkan nako kelas. Teman teman mulai ribut, ada yang bisik bisik, melihat sambil tersenyum, atau setengah mengolok.
Tak sampai semenit aku sudah balik lagi ke kelas dengan ember penuh air di tangan.
Hilang sudah gemetaran, hilang sudah takut, hilang sudah malu. Aku memang bersalah dan aku akan menanggung kesalahanku sendirian.
Kawan. Jangan bayangkan lantai kelasku itu lantai keramik mengkilap, atau ubin semen yang licin. Bukan. Lantai kelasku itu adalah bata merah yang di susun berjajar dengan semen seadanya, tidak di lapisi apapun. Jadi ketika air tumpah di lantai, air akan langsung di serap meresap di bata merah. Habis tak bersisa.
Pak Hadi duduk di meja guru dengan arogan. Tanganya bersedekap seperti mandor bangunan mengawasi kuli kulinya.
“ Anak anak, yang di cuci muka thok atau plus tangan dan kaki ?”
“ Tangan dan kaki “ teman temanku menjawab serempak.
Tak ada kawan abadi itulah bunyi pepatah. Tadinya mereka teman temanku. Sekarang menjadi musuh musuhku yang ikut andil besar mempermalukan aku.
“ Nah mas, kamu sudah dengar sendiri. Ditambah tangan dan kaki. Jadi lepas sepatu dan kaus kakimu!”
Dengan malas aku lepas sepatu dan kaus kakiku.
“ Nah sekarang mulailah !“
Telapak tanganku mencelup ke air di ember, pak Hadi berseru.
“ Sarimin belum mandi......” dengan lagu tandhak bedhes, kledhek kethek, topeng monyet.
Serempak teman temanku riuh klothekan dengan irama topeng monyet. Dheng,,,thek...thek...dheng,,,,thek,,,thek....dheng,,,dheng,,,,dheng....
Duh malunya aku.
Semua tertawa mentertawaiku. Aku ingin lihat tawa siapa yang paling keras, aku akan bikin perhitungan denganya. Aku mendongak melihat ke arah teman temanku sekelas. Semua meringis...sambil klothekan. Tak laki laki tak perempuan. Jadi aku harus bikin perhitungan dengan semua teman sekalas? Oh tidak, aku tak sanggup. Semua mentertawai aku.
Tapi tunggu.
Aku melihat kearah Kanti. Oh..seperti sebuah mesin diesel enam silinder menderu di dadaku. Kanti sama sekali tidak mentertawai aku, tidak juga menahan tawa. Bibirnya terkatup rapat, bahkan bibir bawahnya sedikit digigit. Pandangan matanya melihatku tetapi bukan pandangan mata tajam, tapi dengan pandangan mata teduh berharap. Entah kasihan, entah iba, entah apa aku tak tahu. Tapi yang aku tahu dia tidak tertawa. Tidak mentertawai kesialanku, tidak juga menahan tawa. Itu yang membuat dadaku serasa terbakar oleh semangat. Dadaku terasa panas.
Kanti, ini untukmu. Pekikku dalam hati.
Guyuran pertama ke wajah, kemudian berturut turut ke tangan dan kaki.
Duh Gusti....ternyata belum lengkap rasa malu yang kudapat.
Tangan dan kakiku menjadi berbuih hebat ketika terguyur air. Buih menghebat ketika aku menggosok tangan dan kakiku.
Teman teman jangan di tanya lagi. Tambah riuh tawa dan klothekan mereka.
Air yang tumpah meresap cepat di lantai bata merah tanpa semen.
Sudah tak peduli lagi dengen cletukan teman teman.
“ Kepingin mulus ya pake lotion, bukan detergent...”
“ Huuuuuu........”
“ Tadi malam mimpi naik kuda ....”
“ Wakakak......”
Tak kuanggap celetukan teman temanku. Aku bersihkan sampai buih di kaki dan tanganku bersih tak bersisa.
Aku melihat Kanti, tetap seperti tadi. Tak tersenyum apalagi tertawa.
Terimakasih Kanti, kamu satu satunya temanku di kelas yang tidak mentertawai aku.
Dan kamu Jumariyanto, ternyata idemu sangat sangat buruk !
Huh......




1986
Cah Angon.

Tak di ragukan lagi, tak ada yang menyangkal. Di Melikan, gaul adalah tidur di masjid. Karena Masjid adalah tempat nongkrong terfavorit anak anak abg seusiaku, bahkan aku sudah mulai tidur di Masjid sejak kelas tiga SD. Bukan menyombong bukan mencongkak, tapi memang begitulah keadaanya. Kalau ada anak yang masih tidur di rumah akan diolok olok sebagai anak kuper yang masih ngempeng, mimik ibunya.
Secara naluri meskipun masih kanak kanak teman teman kampungku tetep ingin menjadi laki laki sejati. Dan itu artinya adalah : Tidur di Masjid.
Tak terhitung berapa kali aku harus mengepel masjid karena malamnya aku mengompol. Tak terhitung lagi omelan pak Wito yang aku terima karena urusan ngompol itu. Tak harus kutanggapi serius ketika anak anak pak Wito yang semuanya perempuan mengolok olok aku juga karena perkara ngompol itu.
Tetep, tidur di Masjid adalah proses yang harus di lewati untuk menjadi laki laki sejati.
Ada beberapa kelompok menurut profesi yang menjadi penghuni tetap Masjid Jami Istiqomah.
Satu.
Penggembala kerbau yang majikanya bertempat tinggal di sekitar Masjid. Umurnya rata rata di atasku. Pekerjaanya ya menggembala kerbau. Kang Suradi, Pakde Ngasto, Akad, Gito diantaranya. Meski pekerjaanya penggembala, tapi jangan remehkan mereka. Mereka adalah benteng akidah bagi anak anak yang masih hijau seusiaku. Tempat bertanya untuk hal hal sederhana yang tidak kami ketahui. Juga mengajari mengaji, mengajar adzan, dan melantunkan puji pujian. Itu lho melantunkan lagu pujian saat antara Adzan dan holat berjamaah.
Mereka ini tau persis dengan perilaku perilaku anak anak seperti kami, dan tahu pasti cara menaklukkan kami.
Dua.
Pelajar pelajar yang sudah tingkat SMA. Tidak hanya sekolah SMA saja, ada yang STM dan Madrasah Aliyah. Biasanya mereka bergerombol sendiri, topik obrolanya pun beda. Karena mereka sudah khatam Al Qur’an maka mereka juga mengajari kami mengaji.
Tiga
Suami suami yang sedang bermasalah dengan rumah tangganya. Yang model begini tidak selalu ada, tetapi pernah ada. Rumah tangganya terancam bubar karena berbagai perbedaan dan ketidak cocokan. Tapi juga tergantung istrinya. Kalau iastrinya ga seberapa kejam ya tetep tidur di rumah, kalau istrinya super galak ya jadilah tidur di Masjid. Daripada tidur di cakruk. Pos kamling.
Empat
Sarjana sarjana yang tak kunjung mendapat kerja. Mereka ini yang paling mendominasi. Segala macam aturan masjid di adopsi dari masjid tempatnya kuliah. Kalu bicara berbuih buih dengan kata kata yang jarang di gunakan orang kampung. Misalnya : introspeksi, mengacu, percaturan global, dan banyak lagi yang aku mbuh gak ngerti. Bicara selalu menang sendiri sepertinya kami kami ini adalah lawan debat mereka di kampus kampus.
Biasanya kelompok ini yang mempunyai ide, kalo malam malam kelaparan. Bakar ubi, nyolong nangka, atau mengambil beberapa telur di petarangan ayam tetangga untuk di bakar dan di makan ramai ramai. Sisi buruk cah Mesjid-tan.
Lima
Teman teman seusiaku yang tak masuk keempat profesi tadi. Semuanya putus sekolah karena berbagai alasan , seperti orang tua tak kuat lagi membiayai, anak yatim, dan yang paling banyak adalah anak yang mempunyai gangguan belajar. Tak bisa mengenali huruf dan menghafal angka. Parmo, Yanto, Dwi adalah diantaranya.
Kerja mereka hanya membantu orang tua, buruh panen padi, memasang telik perangkap belut di sawah, atau membantu orang menyetrumkan aki di Geneng yang sepuluh kilometer jauhnya.

Malam itu ramai sekali di Masjid. Hampir jam sepuluh. Semua mengambil tempat tidur masing masing. Berjejer dari mulai pengimaman sampai hampir menyentuh pintu Masjid. Dua baris berjejer seperti pindang yang di tata di keranjang bambu. Tak berbantal, tak beralas apapun langsung punggung menyentuh lantai semen Masjid. Tak khawatir sedikitpun karena sebentar lagi akan menjadi hangat terkena tubuh yang saling mengimpit berjejer.
Entah kenapa aku lebih cocok dengan mas mas penggembala, cah angon di Masjid ini. Menurut perasaanku mas mas penangon kerbau ini lebih dapat di percaya dan kata katanya lebih enak di dengarkan daripada sarjana sarjana yang pengangguran itu.
Kang Suradi di sebelah kananku, mas Akad di sebelah kiriku.
Dari ujung sebelah sana sudah mulai terdengar ada yang mendengkur. Dari ujung yang lain terdengar keteplak keteplok menepuk nyamuk. Lampu sentir sudah di padamkan dari tadi. Cahaya temaram bulan tanggal tua menyelinap melalui anyaman dinding bambu yang tak rapat.
Tadinya cuma pertanyaan sederhana yang ku ajukan kepada mas Akad.
“ Mas....apa yang seharusnya kita lakukan ketika kita jatuh cinta?”
Serentak seperti di komando Kang Suradi dan Mas Akad memiringkan tubuh menghadapi aku. Aku seperti bayi yang di apit berhadapan oleh ayah ibunya.
Nafas keduanya menyapu pipi kanan kiriku. Dalam gelap kurasakan mereka menatapku.
“ Puasa !”
“ Tirakat ! “
Jawab mereka hampir bersamaan.
“ Jangan main main dengan perasaan cinta. Karena perasaan cinta itu adalah rasa kepunyaan Allah yang di berikan pada manusia. Sebagaimana Allah mencintai mahluknya begitulah manusia mencintai sesama, dalam porsi yang se debu kalau di banding dengan cinta Allah tentunya. Rasa cinta yang kau rasakan adalah rasa cinta yang Allah rasakan juga. Sekali lagi jangan main main. Puasa akan membuatmu tahu diri untuk mendayagunakan rasa cintamu itu. Kepada siapa kauberikan, dengan cara apa kau berikan, dan bagaimana kau merawatnya “
Kang Suradi pidato setengah berbisik.
“ Tirakat membuatmu menjadi kuat untuk tidak sembarangan dengan hatimu. Membuka pintu pintu ta’aruf yang terjadi secara ghaib, antara kowe dengan yang membuatmu jatuh cinta itu. Lelaki sejati adalah laki laki yang mampu bersabar untuk setiap proses yang di jalani dalam hidubnya. Tidak grusa grusu, kesusu, miling miling ketemu dengkling.”
Mas Akad menambahi.
Aku menjadi pusing. Kalimat kalimat tadi sungguh berat untuk di cerna oleh anak seusiaku.
“ Teman sekolahmu ?”
“ He’eh, tapi aku nggak ngerti apa ini cinta monyet ?”
“ Hush...jangan mengecilkan arti cinta. Cinta ya cinta, tak ada monyet, bedhes, kethek” Mas Akad menyela.
“ Aku bingung mas ..”
“ Wis ga usah bingung, setiap sore selepas sholat Maghrib setelah wirid yang biasa kita makmum pak Kyai, kamu baca surah Yusuf”
“ Semua mas , seratus sebelas ayat itu ?”
“ Iyo...semua. setelah itu berdo’alah, bertanyalah kepada Allah apakah benar rasa cintamu sudah benar, apakah Allah mengizinkan cintamu tidak bertepuk sebelah tangan, mintalah..Allah pasti mengabulkan do’a hamba hambaNya.”
“ Terus piye ?’
“ Piya piye ....ya terus di surati......”
Kang Suradi ngglebak, Mas Akad ngglebak. Tinggal aku kelop kelop sendirian. Di sana sini terdengar nafas teratur berirama. Tandanya sang pemilik tubuh tengah terlelap dengan nyenyaknya. Jiwanya tenang dalam genggaman Allah.

1986
Waltz, Rock’n Roll, Blues.

Aku paling suka dengan pelajaran kesenian, paling suka dengan guru kesenian. Pak Harjo namanya. Pertama masuk kelas mengajar kesenian dia sudah membuat aku jatuh hati, bukan pada orangnya tapi pada permainan gitarnya yang dahsyat.
Sore itu pak Harjo datang dengan motor gede Ducati kesayanganya. Memakai jaket kulit, memakai topi ala koboi,bercelana jeans dan bersepatu jenggel. Itu lho yang tinggi hampir selutut. Di punggungnya bertengger ransel warna hitam yang mengkilap.
Tak seperti biasanya beliau datang tak ke kantor dulu. Tetapi langsung masuk ruang kelasku, motor besar di perkir di depan kelas.
Anak anak surprise berat seperti melihat artis ibu kota yang datang ke RKPD. Radio Pemda.
“ Selamat sore anak anak “
“ Selamat sore paaaaaaaak “
Tanganya cekatan menurunkan ransel hitam mengkilat di punggung. Menggeletakkan di meja guru dan menarik resleting dengan perlahan. Anak anak merangsek maju ke depan.
Pak Hadi tahu anak anak penasaran. Gerakanya sangat perlahan seperti memainkan perasaan penasaran kami.
Dan....
Tergenggamlah sebuah benda langsing di pelukan Pak Harjo. Gitar. Warnanya orange jernih dengan saputan warna hitam di pinggir pinggirnya.
Mataku jelalatan melihat ke dalam rongga gitar itu. OSMOND C-700 terbaca olehku. Aku terpekik. Duh, gitar ini yang aku inginkan siang dan malam. Yang aku bayangkan ingin menggenggemnya, memainkanya. Melantunkan lagu lagu kepayang untuk Kanti-ku.
“ Ini waltz...somewhere between...”
Pak Harjo memainkan intro melodi dan petikan chordnya dengan bersamaan. Jari jarinya yang sepuluh seperti berubah menjadi berpuluh puluh. Suara gitarnya rapat tak terbiarkan kosong. Bening.
Sampai pada sair lagupun tetap penuh, rapat, dinamis.
Hanya satu putaran. Setelah itu coda dan ending.
Osmond oh osmond. Kapan aku bisa memilikimu.....
“ Sekolah sing pinter.......sekolah sing pinter.....ra sah macem mecem “ suara ibuku berdenging di telinga.

“ Ini rock’n roll........cotton field......”
Tak kulihat dia main chord penuh. Pasti ada 7-nya, 9-nya, atau suspend-nya. Rasanya seperti mendapat pelajaran gratis.

“ Ini blues....bagiku sinar mentari tak sebening wajahmu..... bagiku elusan angin tak semulus tanganmu,,,,,,”
Renyah lagu gombloh dinyanyikan dalam sentuhan manis seorang dewa gitar.
Aku yang hanya bisa memainkan D-A-G menjadi tercengan sekaligus takjub. Baru ini aku melihat permainan gitar yang aneh, tak seperti permainan lik Maryudi, Hasyim, atau lik Duriyadi. Mereka yang kusebut tadi adalah pentolan pentolan orkes qasidah Al A’raaf di kampungku.
Ternyata di atas langit masih ada langit.
Dan aku bertekad ingin bisa main seperti Pak Hardjo. Sebuah virus yang ganas sudah terinkubasi dalam otakku.

Pak Harjo menaruh gitar dengan hati hati. Tanganya menepuk sekali.
“ Oke kita sudah tahu beberapa irama yang ada dalam aliram musik, ternyata musik tidak hanya dangdut..kita akan bersenang senang dalam pelajaran kesenian kali ini,,, kita akan belajar tentang seni yang ngepop....sekarang satu persatu maju ke depan untuk unjuk kebolehan. Boleh nyanyi lagunya bebas, boleh menari tapi bukan joged, boleh main gitar....”
Anak anak mulai ribut.
Jadilah sore itu sore yang seru. Anak anak perempuan semuanya pilih menyanyi. Berdiri dengan tegak mematung memandang kaki meja dan menyanyi dengan paraunya. Lagu yang di pilih juga lagu lagu sekolah seperti : waktu potong padi, pahlawan merdeka, atau himne guru.
Pak Harjo memperhatikan dengan seksama wajahnya datar tanpa ekpresi.
Parji maju dengan jalan tegak. Gagah.
Wajahnya lurus menatap kedepan. Jarinya menjentik jentik kecil.
Dan tahukah engkau kawan lagu apa yang di nyanyikan temanku Parji

Pemilihan umum sudah memanggil kita
Sluruh rakyat menyambut gembira
Pakdemokrasi pancasila
Hikmah indonesia merdeka.

Pilihlah wakilmu yang dapat di percaya
Pengemban ampera yang setia
Di bawah undang undang dasar empat lima
Kita menuju ke pemilihan umum


Kawan, ini sangat tidak lazim. Lagu ini adalah lagu penutup warta berita di RRI yang di siarkan setiap jam. Tapi lagu ini tak pernah di nyanyikan di sekolah manapun. Baru di sini di SMP PGRI Ngawi.
Seisi kelas menjadi gerrr.........pak Harjo tersenyum manggut manggut.
“ Ji.... yang pakdemokrasi tadi salah...sing bener hak demokrasi...” rupanya pak Harjo pendegar radio juga.
Anak anak menjadi tambah ngakak.

Sekarang giliranku. Aku gemetaran, genggeman tanganku mendadak becek berkeringat.
” Saya pakai gitar pak....”
“ O...boleh..... .boleh “ pak Harjo memberikan gitar.
Saya tarik kursi agak ketengah. Dan aku duduk memeluknya. Oh begitu wangi, senar senarnya lembut, dan suaranya jernih.....
Aku menyapu pandang sekeliling ruangan, tersenyum kecil. Dengan gitar osmond di tangan rasa percaya diriku menjadi berlipat lipat.
Jreng.....
Aku akan bikin kejutan untuk teman temanku. Ini lo aku, masih kelas satu smp sudah bisa bermain gitar, memainkan lagu yang merajai tangga lagu di radio RKPD.
Judulnya : bunga sedap malam. Yang nyanyi Iis Sugianto. ( Iis lagi Iis lagi)
Dan aku melirik bando perak sekilas. Duh...kenapa manismu tak pernah habis, meski kulahap dengan pandanganku setiap hari.
Jreng....

Bunga yang kutanam di hatimu sayang
Bukan bunga hanya untuk di petik layu oh..
Bukanya bunga petik layu
Bukanya bunga harum layu
Bukanya bunga sedap malam


Tapi sayang....aku lupa mengatasinya. Teman laki laki sekelasku sebenanya ikut menyanyi dan bertepuk tangan.
Tapi pada liric bukanya bunga harum layu dengan semena mena di gantinya dengan bukanya bunga hanum rahayu. Dengan tertawa tawa mereka ikut menyanyi.

Aku mulai panik, chord yang kupegang mbleset, gembret.

Bukanya bunga petik layu
Bukanya bunga hanum rahayu

Aku ulangi lagi

Bukanya bunga petik layu
Bunganya bunga hanum rahayu

Dengan keji mereka menenggelamkan laguku, dan mempelesetkanya dengan nama anak tercantik di sekolah ini. Padahal bukan dia yang ku dip-i.
Hilang sudah senyumku, hilang sudah pede-ku.
Kutaruh gitar dan setengah berlari kembali ke bangkuku. Kulihat sekilas Kanti tak melihatku.
Pak Harjo tertawa sampai tergoncang goncang dadanya.


Surat.

Malam terasa dingin menusuk ubun ubun. Bapak sudah berangkat bekerja, di pabrik gula, masuk shift malam.
Ku lihat kedua adikku sudah tidur dengan nyenyaknya. Malam ini aku tidak tidur di masjid, karena akan ada pekerjaan besar yang akan aku lakoni. Membuat surat utk Kanti.
Sinar bulan tanggal pertengahan menyelinap masuk melalui genting kaca di atas kamarku, eh kamar kami ding.
Seribu kata kata berbaris di kepalaku. Tanganku gatal menggenggem pena. Tunggulah wahai Kanti, beri aku waktu dan akan kubuat engkau jatuh cinta kepadaku. Biar jangan aku saja yang tak bisa tidur, biar bukan aku saja yang merasakan dentuman dentuman ngilu di ulu hati karena jatuh cinta. Biar engkau juga mendapatkanya, merasakanya, menikmatinya.

Kanti
dari bangku ke dua di belakangmu
aku mengirim salam.

jadilah sahabatku
karena aku ingin menjadi sahabatmu

jadilah karibku
karena bagiku
tak ada yang lebih indah
selain menjadi karibmu

Abidin

Singkat saja kawan, aku memang tidak terbiasa bertele tele.
Aku tersenyum senyum ketika mengulangi membaca kata kata yang tersusun di kertas wangi ini. Kuciumi wangi kertas ini seperti aku mencium dia pada saatnya nanti.

Angin malam berseliyut lembut melewati celah papan jati dinding kamarku. Menggoyang nyala lampu teplok di depanku. Bayanganku di dinding seperti menari nari. Bersaling silang dengan sorot cahaya bulan yang menerobos dari genting kaca di atas. Sungguh, dalam saling silang bayangan itu aku menemukan wajah manis yang selama ini mengintimidasi hidupku. Wajah Kanti menjelma senyuman yang sangat manis, dengan lesung kecil dan remang tahi lalat mungil di atas bibirnya.
Duh.....
Kulipat dengan hati hati, jangan sampai ada dua garis lipatan. Celingak celinguk mencari lem kertas di laci meja. Tak ada. Di rak, tak ada. Kebelakang ke wadah nasi tak ada upo butiran nasi sebulirpun.
Kembali ke kamar. Sudahlah, di lem besuk pagipun tak apa.
Ku masukkan ke buku baru dan aku beranjak tidur, di samping adikku. Ranjang berkeriyet kunaiki. Jangan bayangkan ranjang kami ini ranjang jati yang kokoh dan dilapisi dengan kasur kapas yang empuk.
Yang ku sebut ranjang tadi adalah kayu kayu tua yang tersusun mirip ranjang.
Di paku dengan paku seadanya. Ada yang paku dudur buesar dan panjang, paku usuk ukuran tanggung , bahkan paku reng ukuranya pendek. Di atas susunan kayu itu di pasangi galar bambu. Galar bambu adalah bambu yang di cincang menjadi pipih pipih yang masih bertautan, Sehingga bisa di hamparkan. Di atas galar bambu baru tikar mendong di gelar. Nah itulah makanya ketika aku naik suara yang berkeriyet sontak ribut membahana.
Aku kecilkan nyala lampu teplok dan berangkat tidur. Baru terasa badan pegal pegal. Mata meredup, menguap sekali dan badan terasa terayun ayun. Mata menutup telinga mendengar sayup sayup suara bergemericik nyaring.
Adiku ngompol.

Cukup dengan dua butir upo di pagi harinya amplop surat sudah tertutup rapi. Tak kubaca lagi, hanya kuciumi. Amplop wangi kuselipkan di buku baru bergambar bunga mawar.
Tunggulah Kanti siang ini aku akan membuatmu tak bisa tidur di malam malam berikutnya.

Kamis, 12 Maret 2009

SITI HARDIYANTI RUKMANA

Pagelaran tahunan Jak jazz 2009 sudah kelar beberapa hari yang lalu. Penikmat jazz masih merasakan sisa sisa siksaan kenikmatan yang rruaarrr biasa. Seperti menemukan Idul Fitri, Natal, atau Hanukah. Itulah perasaan yang tersisa saat ini. Tiga hari rasanya masih kurang untuk membuat kuping orgasme. Kepingin lagi, lagi dan lagi.

Ya. Jak Jazz adalah hari rayanya penikmat jazz di tanah air. Beberapa tahun terakhir dunia musik Indonesia cenderung kering ( setidaknya menurut penggemar jazz ), sangat sedikit band ataupun solois yang eksis berkiprah di jalur musik jazz.Tak pelak Jak jazz adalah seteguk air dalam kehausan.
Karena sepertinya musik Indonesia di dominasi oleh grup grup baru yang warna musiknya hampir sama. Sebutlah misalnya Ungu, Seventeen, ST 12, D’Massive dan banyak yang lainya. Sudah musiknya hampir sama, tema yang di usung dalam lagu juga kurang lebih sama. Cinta, di tinggalkan, tak mau cari ganti, cinta nya abadi, dan ini yang bikin muak : “ perselingkuhan “.

Aduh, kita mungkin lupa bahwa kita pernah punya anak anak muda yang hebat pada saat seusia personel personel band band cengeng itu, Saat masih muda anak anak itu sudah menghasilkan karya karya yang sangat apik dari sisi musikalitas.

Saya tak sabar ingin menyebut mereka satu per satu. Satu per satu.
Denny TR, Chandra Darusman, Pra Budhi Dharma, Gilang Ramadhan, Suweleh bersaudara, Karim Suweleh & Dullah Suweleh, Yani Danuwijaya, Indra Lesmana, Yance Manussama, James F Sundah, Dodo Zakaria, Iwang Noorsaid, Fariz RM, Dian Pramana Putra, Tohpati, Balawan, Indro, Aminoto Kosin, Erwin Gutawa, Luluk Purwanto, Dwiki Dharmawan.
Mereka masih sangat sangat belia ketika menggarap lagu lagu yang sukses secara musikal maupun hebat secara penjualan.
Lagu lagu cerdas yang tidak cengeng dan tidak gombal, apalagi amoh.
Tidak genjrang genjreng mengumbar distorsi dan efek audio.

Ok. Mungkin level kita baru sampai di situ.

Tapi cobalah tengok musik tradisional kita. Dengarlah musik tradisional gamelan bali. Menurutku gamelan bali adalah musik tradisional indonesia yang paling dinamis. Ritmenya naik turun dengan spektrum nada yang sangat luas menembus lorong lorong kecil kenikmatan di saraf otak manusia. Cobalah dengar dengan teliti sekali lagi. Kita akan menemukan kegelisahan, marah, geliat, keceriaan, suka cita, cinta yang tidak cengeng, dan pencarian tiada ujung. Mirip dengan music tradisional china Tiongkok dan Jepang.
Saya tidak memberi contoh dengan musik tradisional jawa. Karena musik tradisional jawa memang di buat untuk mlumah, nyampleng, mapan, feodal. Makanya nadanya cenderung pentatonik dengan ritme sedang sesuai dengan kultur masyarakat jawa yang priyayi. Gengsian.

Jazz, musik Tiongkok, musik tradisional Jepang dan gamelan bali mempunyai kemiripan. Gelisah, mencari cari, anti kemapanan, dan cenderung selalu menemukan sesuatu yang baru.

Itulah yang kita butuhkan sekarang. Tidak cengeng, berkaki kokoh, gelisah untuk terus menemukan sesuatu yang baru. Berputar seperti thawaf, terus tanpa henti, men thawafi inti hidub.
Yang di butuhkan Indonesia sekarang adalah orang orang dengan jiwa kuat, cerdas, selalu gelisah untuk kemajuan minimal buat diri sendiri, sehingga tidak ngriwuki orang lain apalagi negara.

Wahai orang orang musik, andalah yang paling bisa untuk tujuan ini. Anda bisa masuk ke ruang makan orang gedongan maupun ruang makan sesek di bawah pilar jalan tol.
Anda bisa masuk ke ruang tidur pak Kyai, maupun ruang tidur politisi.
Anda bisa menemani mereka dugem ataupun mengantar mereka pergi pengajian.
Anda sangat bisa mewarnai saat mereka gembira maupun mengiringi mereka di saat duka.

Ciptakanlah musik musik yang mencerdaskan dengan lyric yang menginspirasi. Bikinlah liryc yang membuat adrenalin meledak.

Bolehlah bikin lagu tentang cinta, tapi buatlah tidak cengeng. Sehingga yang mendengarpun akan merasa gagah di muka bumi, mencinta tanpa harus membik membik.

Saya punya contoh untuk kasus ini.
Saya punya lagu abadi.
Saya bisa betah mendengarkan lagu itu berjam jam lamanya. Hanya lagu itu, di ulang ulang.
Saya bisa memainkan lagu itu dengan nikmat setara coitus.
Saya bisa nunut marah di lagu ini, saya bisa nunut ayem di lagu ini.
Saya menemukan universalitas cinta di lagu ini.

Wahai para musisi, ciptakanlah lagu yang seperti ini. Di zaman teknologi saat ini
Sangat mudah untuk menciptakan musik musik yang berkualitas kan ?

Kembali ke lagu saya itu.
Saya dapat lagu tsb dari sahabat SMP saya di Ngawi, tahun 1986, saat sahabat tsb akan pindah ke sekolah yang menurutku sangat jauh, Medan.

Albumnya berjudul Bhaskara 86, dari band jazz berlabel Bhaskara 86 juga.
Secara keseluruhan album ini memang apik. Jazz yang berat di ramu sedemikian rupa menjadi renyah di kuping. Mungkin sebagian orang menamakan ini genre nya fusion. Tapi tetep saja jazz namanya.

Coba perhatikan di side A nomor 3. Judulnya Putri. Inilah lagu abadi yang saya ceritakan itu. Luluk Purwanto memainkan biolanya dengan gila. Kadang melengking marah, kadang santun membelai, kadang gelisah berteriak “ aku cinta diaaa....!”

Lagu ini menjelma menjadi putri yang gelisah mencari. Menari nari dalam tarian hidub yang bernama cinta. Sungguh indah...

Di tengah tengah, melodi gitar Deny TR gemerincing santun. Seperti membingkai sebuah lukisan Wanita. Tak di bingkai juga sudah indah, apalagi di bingkai dengan bingkai indah, menjadikannya lebih indah.

Tahukah engkau kawan ?
Yang mencipta lagu ini adalah Siti Hardiyanti Indra Rukmana.
Ya memang dia.
Itu baru kutahu kemarin sore ketika baca blognya Ida Arimurti.

Oh...mengapa harus dia ?
Jujur !
Dalam hal lain mungkin aku sangat tidak suka dengan sepak terjangnya.
Tapi dalam hal ini saya patut berterimakasih pada mbak Tutut yang telah mencipta lagu ini.
Lagu indah, lagu yang menginspirasi, lagu yang membangkitkan, lagu yang gagah.

Setidaknya menurutku, semoga juga iya menurut penikmat jazz sekalian.

Wahai insan musik. Pendengar memang perlu dididik. Didiklah mereka dengan lagu gagah yang tidak nglembreh, nggedambleh dan eh..eh..yang lain.




Griya Kencana – Driyorejo

11 Maret 2009 18.56

Senin, 19 Januari 2009

Sleretaun

Sleretaun ( e-nya di baca seperti melafalkan kata ceret )
Dua kata itu terlintas begitu saja di siang ini. Sudah sejak lama dua kosa kata itu tak pernah dipakai orang, dilupakan orang. Sehingga tak pernah orang mengucapkan dua kata itu. Orang lebih sering menggunakan padan katanya yang sering di ucap penyiar penyiar tivi. Puting beliung. Padahal Sleret taun lebih mewakili suasana dahsyat mencekam saat kedatanganya yang lebih sering dengan tiba tiba.
Sore itu aku agak telat menggembala bajing, kerbau bapakku satu satuya. Aku menunggu garang gerih yang di buat ibuku matang sampai agak gosong. Garang gerih adalah ikan asin yang di lapis sambal kelapa super pedas, di bungkus daun pisang, dimasak dengan menumpangkan di wajan tanah yang membara.
Rasanya wenak apalagi yang sedikit gosong, lebih mak nyus dari yang dimakan Bondan Winarno di tivi. Setidaknya untuk waktu itu.
Sebungkus garang gerih sanggup menemani satu setengah onjot ( piring seng berukuran jumbo ) nasi tiwul melewati tenggorokanku. Satu setengah onjot sego thiwul sanggup menguatkan otot otot kecilku untuk menaklukan monster jantan hitam berkaki empat dengan tanduk runcing mengacung di atas kepalanya.
Yah inilah aku, penggembala kecil, paling kecil se Melikan dengan julukan kebesaran sekaligus nama olok olok, “Rante”. Dari kata rantai, karena aku pernah membual di depan teman temanku bahwa bapakku akan membawa pulang dari pabrik gula tempatnya bekerja sebuah rantai besar, sebesar rantai kereta api untuk mengunci pintu rumahku agar tidak di masuki maling. Ternyata yang di bawa bapak hanyalah rantai kecil, malah lebih kecil dari rantai dokar pak Samidjo yang mangkal di depan pasar Paron.
Aku mengeluarkan bajing dari kandang, dan menggiring ke pinggir rel sepur, tempat biasa kerbau kerbau merumput.
Sesampai di pinggir rel kereta api, sudah berderet deret kerbau yang merumput. Ada dua puluh kerbau yang di angon di pinggir rel utara kali. Yang di selatan jembatan lebih sedikit, karena di sana juga rumputnya sedikit. Aku melepas bajing sedikit ke selatan menjauhi lulang macan kerbaunya pak Mukiyat. Sejak dulu kalau bajing ketemu sama lulang macan mesti gaprukan, itu lho saling adu kekuatan dengan saling menanduk kepala.
Aku biarkan bajing merumput dengan lahap. Nafasnya mendengus dengus sambil sesekali melirik ke arah kami para penggembala berkumpul. Penggembala berkumpul berderet duduk di rel sepur sambil mengawasi kerbau masing masing. Kang Suradi dengan suara merdu melantunkan adzan, dia memang muadzin masjid kampung kami.Dia sedang latihan rupanya. Gito membuat wayang Janoko dari dumput yang di anyam rapi. Mas Suhanto menekuk nekuk seutas kawat untuk di lindaskan roda kereta, ketika kereta lewat.
Kawat yang dilindas roda kereta akan gepeng menjadi setipis pisau.
Tapi taukah engkau sobat, sehelai rambut yang di lindas roda kereta tak membuat rambut menjadi lumat, malah rel kereta akan dekok sesuai ukuran rambut itu di letakkan
Begitulah adanya
Aku duduk di samping kang Suradi, takjub aku mendengar suara adzanya yang lembut mendayu dayu. Pertama dia adzan dengan lagu pesisiran, kemudian dengan lagu mataraman, kemudian dengan lagu persiaan. Aku kepuingin bisa, makanya aku melihatnya dengan teliti. Bagaimana dia menarik nafas, meliukkan cengkok, hingga bersuara menggunakan perut dan dada bergantian.
Dari selatan jembatan terdengar “ puuuuooooorrrrrrr........” bersahutan beulang ulang.
Tandanya sepur segera lewat. Benda hitam mengeluarkan asap mengepul mendatangi kami dari selatan, dari arah stasiun Geneng. Suaranya bising jes...jes....jes....
Asap yang keluar di atas warnanya hitam pekat, sementara asap yang keluar di sela sela roda warnanya putih. Peluitnya bikin sakit kuping, seperti suara auman seratus kerbau yang panjang. Menggandeng lima gerbong kayu yang catnya sudah kusam. Suaranya berderak derak, menghamburkan debu ampas tebu ke udara. Sepur ojes bertenga uap lewat dengan angkuhnya, meski jalanya terseok seok melawan usia.
Semenit setelah gerbong terakhir lewat, tiba tiba Kang Suradi berteriak :
“ Rante......brambang............! ”
Serentak mereka membikin lingkaran yang rapat. Aku mati langkah tak bisa lari. Aku sudah tau yang akan mereka lakukan dengan sandi rante brambang tadi.
Mereka tertawa tawa, aku juga tertawa tawa takut, sambil memegangi celana pendekku kuat kuat. Mereka semua lebih besar dari aku, tak kuat aku melawan. Aku pasrah jongkok memegangi celana. Kang Suradi dengan gemas menangkapku dari belakang. Di buang topi capilku kesamping dan menidurkan kepalaku di pangkuanya, kedua tangan ku di pegang kuat, kuat sekali.
Mas suhanto meluruskan kakiku, sandal jepit terlepas entah kemana. Yang lain mengerubutiku sambil berdiri berkeliling. Aku tak pasrah begitu saja. Aku meronta sekuat tenaga. Kaki ku menendang nendang tak karuan, berteriak teriak. Dari sela sela kaki aku melihat Pak Joyo lewat, tapi tak menolongku malah ikut tertawa sambil berlalu dengan sepeda PLKB nya.
Gak tau kenapa, mereka ini sepertinya selalu gemas melihat aku. Kemarin mereka sudah melakukan ini, hari inipun mereka melakukan lagi. Dan anehnya akupun tak marah dengan mereka, karena mereka juga guru ngajiku di setiap sore setelah maghrib.
Mas Suhanto menindih dengkul kakiku dengan agak kuat. Aku berhenti meronta. Sekali sentak celanaku terlepas, meninggalkan burung kuncup kecilku jadi tontonan mereka. Tak guna aku meronta, aku pasrah sambil tertawa kegelian.
Gito mencari cari di sakunya, dan di keluarkanlah bawang merah sebesar jempol kaki.
Di patahkan pucuknya sampai mengeluarkan getah. Getah bening keluar, tapi rupanya gito jadi tak sabar. Gito meremas brambang sampai getah membasahi jari jarinya. Semuanya tertawa. Aku dibawah lemas menanti eksekusi.
“ Biar cepat besar....! “ katanya. Tangan gito yang hitam berkilat plus kapalan dengan rakusnya mencengkeram kuncupku. Semua brambang yang ada di tangannya habis di oles oles ke seluruh batang mungilku. Semua tertawa tergelak gelak Aku sudah tak berdaya merasakan geli. Tak guna aku meratap ampun ampun , tangan Gito yang kekar tetap saja ada disana.
“ Nunu lewat..... Nunu lewat..... “ tak tau siapa yang ngomong dibelakangku.
“ Mati aku..!”
Nunu adalah gadis kecil yang menurutku paling cantik di Melikan, dan mereka mereka ini tau aku punya rasa sama Nunu. Serentak lingkaran membuka memperlihatkan aku ketika Nunu lewat di samping kerumunan itu dengan sepeda mininya.
Aku lihat Nunu melengos saja, tapi dari sudut bibirnya aku tau Nunu sedang sangat keras menahan tawa. Aku tengkurap dengan cepat dan sekarang bokongku yang terlihat. Pengepungku makin riuh rendah saja. Aku serba salah.
Pengepungku bubar satu satu, meninggalkan aku terlentang lemes kegelian. Kebelet pipis. Bayangan Nunu hilang di pertigaan tugu.
Aku bangkit, mengenakan celanaku kembali dan, pipis.
Diatasku mendung tipis tipis saja, tapi di selatan sana mendung dengan cepat menghitam pekat berarak. Angin dingin meniup berseliyut kencang. Kerbau kerbau mendongak seperti mencari tau apa yang terjadi. Dan sobat, lihatlah..di bawah mendung yang menggantung itu. Sebuah jalinan menjulur keluar dari mendung pekat itu. Seperti tampar hitam atau dadung yang berpilin pilin. Semakin lama semakin besar. Aku tak tau kira kira di daerah mana. Kalo tidak di atas desa Ksatriyan, mungkin di atas Kedung Putri. Atau mungkin di langit dusun Jegolan. Pilinan mendung menjulur semakin panjang. Aku ternganga. Otak kecilku tak mampu menangkap apa yang terjadi, tapi hati mengatakan sesuatu akan terjadi.
Semua melihat ke selatan, menunjuk nunjuk dengan mulut menganga.
“ Sleret taun...sleret taun.......sleret taun.....!’ teriak mereka bersahutan.
Akhirnya aku bergabung kembali dengan mereka.
Kang Suradi mengambil batu di rel sepur. Memukul mukul rel dengan irama teratur pentatonik. Sambil mulutnya melantunkan semacam lagu dolanan.

Sleret tauuuuun
Dadung pedhot.........
Kathokmu mlorot........
Ketiban senggot.........

Serentak kami melakukan hal yang sama. Ada yang memukul di relnya, ada yang memukul di baut pengunci rel, ada yang memukul di kayu bantalan rel, ada yang memukul di pelat papan penyangga jembata. Jadilah kami klothekan dengan serunya. Sambil melantunkan lagu dolanan

Sleret tauuuuuun
Dadung pedhot...........
Kathokmu mlorot..........
Ketiban senggot...........

Dalam bahasa indonesia mungkin artinya begini :

Wahai puting beliung
Cepat, segera putuskan pilinan pilinan talimu
Lihatlah celanamu melorot
( pilinan tali juga bisa di lihat seperti propertinya kuda yang sedang menjulur menjuntai )
Nanti propertimu kejatuhan senggot
( Senggot adalah bandul yang di ikatkan pada ujung tuas timba mekanik di sumur gali yang menggunakan bambu panjang )

Angin kencang dingin mengacak acak topi topi kami hingga beterbangan.
Keluarga keluarga yang tinggal di seberang rel berhamburan melihat apa yang terjadi.
Jadilah pinggir rel sepur mendadak ramai orang. Ada yang hanya melihat, bercakap cakap, dan ada yang bergabung ikut klothekan bersama kami.
Ajaib, sungguh ajaib. Pilinan yang menjulur kemudian putus tepat di tengah. Separuh yang di bawah memedar memencar, separo yang di atas kembali masuk ke gugusan mendung pekat itu. Dan hilanglah sleret taun itu, puting beliung itu.
Mungkin di zaman kini kita lebih banyak membutuhkan anak penggembala anak penggembala yang membuat puting beliung malu hati tak jadi mengamuk, agar bencana bencana puting beliung punah dari negeri ini.
( Penggembala apa ? wong kerbaunya sudah di ganti traktor )

Kemudian hujan seperti tertumpah dari langit, tetapi angin kencang menghilang bebarengan dengan turunya hujan. Orang orang berlarian masuk rumah, dengan menyungging senyum di bibirnya, puas, lega, terbebas dari bencana.

Bergegas aku menggiring bajing ke panjeruman, tempat memandikan kerbau.
“ Rhuuuuummmmm...Rhummmmmm..........Rhum........” teriak pengembala bersahutan. Ini adalah bahasa kerbau. Penggembala memerintahkan untuk rhum, njerum, berkubang di dasar kolam. Kerbau kemudian bersimpuh di dasar kolam panjeruman. Penggembala sibuk menggosok tubuh tubuh monster berkaki empat itu. Menyanyikan lagu dolanan di tengah guyuran hujan.
Begitulah memandikan kerbau di hari kemarin, hari ini dan hari esok. Di Melikan. Dusun kecil di kaki gunung Lawu di ujung sabana padi di selatan Ngawi.

Oh ya...ternyata yang di “brambang” tadi tidak ada efeknya apa apa sampai sekarang. Ukuranya normal normal saja, standart orang Indonesia.
He ...he....he.......
( Yang ini bisik bisik saja )








Galangan – Segoromadu-Gresik
19 Januari 2009.


Kang Suradi, saya sudah keliling hampir seluruh Indonesia
Tapi belum ada yang menyamai indahnya Adzan sampeyan.