Pagelaran tahunan Jak jazz 2009 sudah kelar beberapa hari yang lalu. Penikmat jazz masih merasakan sisa sisa siksaan kenikmatan yang rruaarrr biasa. Seperti menemukan Idul Fitri, Natal, atau Hanukah. Itulah perasaan yang tersisa saat ini. Tiga hari rasanya masih kurang untuk membuat kuping orgasme. Kepingin lagi, lagi dan lagi.
Ya. Jak Jazz adalah hari rayanya penikmat jazz di tanah air. Beberapa tahun terakhir dunia musik Indonesia cenderung kering ( setidaknya menurut penggemar jazz ), sangat sedikit band ataupun solois yang eksis berkiprah di jalur musik jazz.Tak pelak Jak jazz adalah seteguk air dalam kehausan.
Karena sepertinya musik Indonesia di dominasi oleh grup grup baru yang warna musiknya hampir sama. Sebutlah misalnya Ungu, Seventeen, ST 12, D’Massive dan banyak yang lainya. Sudah musiknya hampir sama, tema yang di usung dalam lagu juga kurang lebih sama. Cinta, di tinggalkan, tak mau cari ganti, cinta nya abadi, dan ini yang bikin muak : “ perselingkuhan “.
Aduh, kita mungkin lupa bahwa kita pernah punya anak anak muda yang hebat pada saat seusia personel personel band band cengeng itu, Saat masih muda anak anak itu sudah menghasilkan karya karya yang sangat apik dari sisi musikalitas.
Saya tak sabar ingin menyebut mereka satu per satu. Satu per satu.
Denny TR, Chandra Darusman, Pra Budhi Dharma, Gilang Ramadhan, Suweleh bersaudara, Karim Suweleh & Dullah Suweleh, Yani Danuwijaya, Indra Lesmana, Yance Manussama, James F Sundah, Dodo Zakaria, Iwang Noorsaid, Fariz RM, Dian Pramana Putra, Tohpati, Balawan, Indro, Aminoto Kosin, Erwin Gutawa, Luluk Purwanto, Dwiki Dharmawan.
Mereka masih sangat sangat belia ketika menggarap lagu lagu yang sukses secara musikal maupun hebat secara penjualan.
Lagu lagu cerdas yang tidak cengeng dan tidak gombal, apalagi amoh.
Tidak genjrang genjreng mengumbar distorsi dan efek audio.
Ok. Mungkin level kita baru sampai di situ.
Tapi cobalah tengok musik tradisional kita. Dengarlah musik tradisional gamelan bali. Menurutku gamelan bali adalah musik tradisional indonesia yang paling dinamis. Ritmenya naik turun dengan spektrum nada yang sangat luas menembus lorong lorong kecil kenikmatan di saraf otak manusia. Cobalah dengar dengan teliti sekali lagi. Kita akan menemukan kegelisahan, marah, geliat, keceriaan, suka cita, cinta yang tidak cengeng, dan pencarian tiada ujung. Mirip dengan music tradisional china Tiongkok dan Jepang.
Saya tidak memberi contoh dengan musik tradisional jawa. Karena musik tradisional jawa memang di buat untuk mlumah, nyampleng, mapan, feodal. Makanya nadanya cenderung pentatonik dengan ritme sedang sesuai dengan kultur masyarakat jawa yang priyayi. Gengsian.
Jazz, musik Tiongkok, musik tradisional Jepang dan gamelan bali mempunyai kemiripan. Gelisah, mencari cari, anti kemapanan, dan cenderung selalu menemukan sesuatu yang baru.
Itulah yang kita butuhkan sekarang. Tidak cengeng, berkaki kokoh, gelisah untuk terus menemukan sesuatu yang baru. Berputar seperti thawaf, terus tanpa henti, men thawafi inti hidub.
Yang di butuhkan Indonesia sekarang adalah orang orang dengan jiwa kuat, cerdas, selalu gelisah untuk kemajuan minimal buat diri sendiri, sehingga tidak ngriwuki orang lain apalagi negara.
Wahai orang orang musik, andalah yang paling bisa untuk tujuan ini. Anda bisa masuk ke ruang makan orang gedongan maupun ruang makan sesek di bawah pilar jalan tol.
Anda bisa masuk ke ruang tidur pak Kyai, maupun ruang tidur politisi.
Anda bisa menemani mereka dugem ataupun mengantar mereka pergi pengajian.
Anda sangat bisa mewarnai saat mereka gembira maupun mengiringi mereka di saat duka.
Ciptakanlah musik musik yang mencerdaskan dengan lyric yang menginspirasi. Bikinlah liryc yang membuat adrenalin meledak.
Bolehlah bikin lagu tentang cinta, tapi buatlah tidak cengeng. Sehingga yang mendengarpun akan merasa gagah di muka bumi, mencinta tanpa harus membik membik.
Saya punya contoh untuk kasus ini.
Saya punya lagu abadi.
Saya bisa betah mendengarkan lagu itu berjam jam lamanya. Hanya lagu itu, di ulang ulang.
Saya bisa memainkan lagu itu dengan nikmat setara coitus.
Saya bisa nunut marah di lagu ini, saya bisa nunut ayem di lagu ini.
Saya menemukan universalitas cinta di lagu ini.
Wahai para musisi, ciptakanlah lagu yang seperti ini. Di zaman teknologi saat ini
Sangat mudah untuk menciptakan musik musik yang berkualitas kan ?
Kembali ke lagu saya itu.
Saya dapat lagu tsb dari sahabat SMP saya di Ngawi, tahun 1986, saat sahabat tsb akan pindah ke sekolah yang menurutku sangat jauh, Medan.
Albumnya berjudul Bhaskara 86, dari band jazz berlabel Bhaskara 86 juga.
Secara keseluruhan album ini memang apik. Jazz yang berat di ramu sedemikian rupa menjadi renyah di kuping. Mungkin sebagian orang menamakan ini genre nya fusion. Tapi tetep saja jazz namanya.
Coba perhatikan di side A nomor 3. Judulnya Putri. Inilah lagu abadi yang saya ceritakan itu. Luluk Purwanto memainkan biolanya dengan gila. Kadang melengking marah, kadang santun membelai, kadang gelisah berteriak “ aku cinta diaaa....!”
Lagu ini menjelma menjadi putri yang gelisah mencari. Menari nari dalam tarian hidub yang bernama cinta. Sungguh indah...
Di tengah tengah, melodi gitar Deny TR gemerincing santun. Seperti membingkai sebuah lukisan Wanita. Tak di bingkai juga sudah indah, apalagi di bingkai dengan bingkai indah, menjadikannya lebih indah.
Tahukah engkau kawan ?
Yang mencipta lagu ini adalah Siti Hardiyanti Indra Rukmana.
Ya memang dia.
Itu baru kutahu kemarin sore ketika baca blognya Ida Arimurti.
Oh...mengapa harus dia ?
Jujur !
Dalam hal lain mungkin aku sangat tidak suka dengan sepak terjangnya.
Tapi dalam hal ini saya patut berterimakasih pada mbak Tutut yang telah mencipta lagu ini.
Lagu indah, lagu yang menginspirasi, lagu yang membangkitkan, lagu yang gagah.
Setidaknya menurutku, semoga juga iya menurut penikmat jazz sekalian.
Wahai insan musik. Pendengar memang perlu dididik. Didiklah mereka dengan lagu gagah yang tidak nglembreh, nggedambleh dan eh..eh..yang lain.
Griya Kencana – Driyorejo
11 Maret 2009 18.56
Kamis, 12 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar